TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA Indonesia mengikuti konvensi anti-korupsi yang lebih dikenal dengan UNCAC (United Nations Convention Againts Corruption), yang digelar di Marrakech, Maroko, Sejak 24 hingga 28 Oktober 2011. Pesertanya adalah peserta konvensi antikorupsi yang digelar PBB pada 2003 silam.
Sejak 2006, Indonesia telah meratifikasi UNCAC. Hingga hari ini, tak kurang dari 140 negara telah menandatangani dan 154 negara telah menjadi peserta konvensi.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW), Adnan Topan Husodo dalam press release mengatakan kewajiban bagi negara peserta konvensi, adalah secara bertahap melakukan harmonisasi atas prinsip UNCAC untuk dapat diadopsi menjadi norma hukum dan aturan antikorupsi domestiknya.
Menurutnya, ada beberapa masalah mendasar yang menyebabkan agenda pemberantasan korupsi di Indonesia belum memenuhi standar konvensi PBB antikorupsi, 2003.
Adnan menganggap politik domestik di Indonesia tidak mendukung secara sungguh-sungguh langkah ratifikasi yang telah diambil. Hal tersebut mengakibatkan lambatnya capaian, dalam pemberantasan korupsi di Indonesia yang dapat dilihat dari skor persepsi korupsi yang tidak bergerak signifikan.
Sejak 2001 hingga 2011, skor Indonesia hanya naik 1.1 poin, yakni dari 1.9 pada tahun 2001, pada tahun 2001 menjadi 2.8.
Global Corruption Barometer Indonesia sejak 2003 hingga 2010 menunjukkan, partai politik dan parlemen dianggap sebagai lembaga yang paling korup di Indonesia.
"Kuatnya resistensi politik di Indonesia dalam usaha memberantas korupsi ditunjukkan dengan tekanan yang dilakukan parlemen terhadap KPK," katanya.
Ia juga menyebutkan usaha untuk membubarkan KPK menjadi penyebab buntunya pemberantasan korupsi, apalagi banyak politisi Senayan dan politisi daerah yang diproses secara hukum oleh KPK karena terlibat korupsi. baca Nazaruddin Mangkir Dipanggil Salah Siapa
Tak hanya itu, Partai Politik menurutnya juga mengambil bagian dalam permasalahan ini. Dari sisi akuntabilitas dan trasparansi dana politik, Adnan menganggap partai politik di Indonesia belum ada yang memenuhi kriteria minimal.
"Keuangan partai politik yang tertutup kian menguatkan dugaan sumber pendanaan partai politik berasal dari praktek ilegal, baik korupsi maupun kejahatan pidana lainnya," tambahnya.
Meskipun ditengarai partai politik telah menjadi ajang bagi terjadinya praktek jual beli dukungan, akan tetapi regulasi baik UU Partai Politik maupun UU Tipikor tidak dapat menjangkau perbuatan suap-menyuap yang terjadi di internal partai politik.
"Barangkali, ini kelemahan mendasar dalam UU Tipikor kita karena belum mengatur korupsi politik yang justru menjadi sumber persoalan paling mendasar," tuturnya.