Sebagian besar limbah rumah sakit diolah atau dimusnahkan dengan cara mengubur atau membakarnya. Padahal cara seperti itu akan berdampak buruk bagi kesehatan manusia dan mencemari lingkungan serta menyebabkan global warming.
Salah satu limbah medis yang sulit dikelola dan menyisakan masalah pencemaran lingkungan adalah tabung suntik polimer, yang ternyata merupakan limbah yang sulit untuk didaur ulang. Padahal penggunaan jarum suntik tetap diperlukan dalam dunia medis.
Hal itulah yang mendorong Yesi Novia Ambarani, Ahmad Ali Zulkarnain dan Rahmi Farida Azzahro mahasiswa Fakultas Kedokteran dan Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (FKIK-UMY), bersama dosen pembimbing dr. Inayati Habib, M.Kes, menggagas Biodegradable spuit sebagai solusi penanggulangan limbah syringe atau limbah jarum suntik.
Gagasan ini juga mengantarkan mereka lolos dalam Program Kreatifitas Mahasiswa-Gagasan Tertulis (PKM-GT) 2011 yang diselenggarakan oleh oleh Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (DP2M) Ditjen Pendidikan Tinggi (DIKTI) Kementerian Pendidikan Nasional.
Sebelumnya, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) telah mengembangkan alat untuk menghancurkan limbah jarum suntik dengan menggunakan electrical arc. Bahan tersebut dapat menghancurkan bahan metal pada jarum suntik menjadi serbuk.
“Namun, alat tersebut tidak menghancurkan tabung plastik atau spuit jarum suntik. Maka menjadi permasalahan untuk dapat mengurainya,” ujar Yesi (23/9).
Biodegradable Spuit, tabung suntik yang terbuat dari bahan daur ulang yang berasal dari ubi dan kulit jeruk yang telah diolah sedemikian rupa, bisa menjadi jawaban untuk mengatasi permasalahan tersebut.
“Bahan-bahan yang kami gunakan ini adalah bahan yang berasal dari alam, seperti kulit jeruk yang diubah menjadi limonen atau minyak kulit jeruk dan pati tapioka dari ubi kayu. Maka dapat disebut produk ini sebagai produk dari alam dan kembali ke alam,” katanya menjelaskan.
Langkah awal pembuatan ekstraksi limonen, yaitu kulit jeruk dicuci bersih lalu direndam dalam larutan NaHCO3 selama satu hari, dengan perbandingan satu kilogram kulit jeruk dengan satu liter NaHCO3. Setelah direndam, rajang halus kulit jeruk, lalu peras dengan alat pres hidrolik.
Selama pemerasan, kata Yesi, lakukan penyemprotan dengan air dingin dan jadilah emulsi minyak. Selanjutnya, lakukan pemisahan emulsi minyak dengan menggunakan dekantasi.
“Emulsi tersebut dimasukkan ke dalam botol dekantasi untuk pemisah fraksi air dan minyak emulsi. Lalu simpan botol tersebut dalam lemari pendingin selama satu hari. Buang fraksi air yang berada pada bagian bawah botol. Kemudian, campurkan emulsi tersebut dengan Na2SO4, lalu saring. Jadilah minyak kulit jeruk,” ujarnya.
Komponen selanjutnya, yaitu plastik atau edible film dengan aditif limonen. Pembuatannya dimulai dengan melarutkan bahan dasar pati tapioka (ubi kayu) pada air sehingga berupa hidrokoloid. Kemudian tambahkan plastisizer sorbitol. Selanjutnya, tambahkan minyak kulit jeruk atau limonen sebanyak 15 persen, panaskan.
“Cetak atau casting film dengan menggunakan auto-casting machine. Lalu biarkan beberapa jam pada suhu 70 derajat celcius dengan RH ruangan 50 persen. Keringkan plastik yang dihasilkan selama satu hari pada suhu 30 derajat celcius dengan RH 50 persen. Simpan lagi selama satu hari dan jadilah Biodegredable Spuit yang ramah lingkungan,” ujar Yesi menambahkan.
Yesi dan kawan-kawannya berharap, gagasan Biodegredable Spuit ini dapat diaplikasikan secara maksimal di rumah sakit ketika melakukan pembersihan limbah tabung jarum suntik (syringe).
“Alat ini dapat menurunkan pencemaran undara yang menyebabkan global warming dan meningkatkan kualitas kesehatan individu di masyarakat. Lagipula proses pembuatannya mudah dan dapat ikut memberdayakan petani ubi dan masyarakat,” tuturnya.
Sumber: umy.ac.id, okezone.com